Senin, 15 Juni 2009

Terhibur Sekaligus Tereduksi


BERBAGAI festival film alternatif di Indonesia makin menggeliat dan sudah punya tempat.Tak sekadar menyajikan tontonan berbeda,para penyelenggaranya juga berharap jadi agen perubahan.

Sebuah festival film alternatif umumnya memutar film non-mainstream yang tidak ditayangkan di jaringan bioskop komersial. Salah satu tujuannya adalah mengakomodasi keinginan para pencinta film yang haus akan film-film ”bermutu”. Rupanya, acara seperti ini diminati dan mendapat tempat di Indonesia. Buktinya, penonton Jakarta International Film Festival (JiFFest) terus bertambah setiap tahun.

Pada penyelenggaraan tahun lalu, tak kurang dari 18.000 pencinta film hadir untuk menyaksikan berbagai film lokal maupun internasional dari berbagai genre.Tahun ini festival yang disebut-sebut terbesar se-Asia Tenggara itu sudah siap dengan penyelenggaraan ke-11 pada 4-12 Desember 2009 mendatang. JiFFest tidak sendiri. Cukup banyak festival film alternatif yang sudah lama ada,atau baru mulai.

Festival Sinema Perancis (FSP), misalnya, sudah memasuki tahun ke-14. FSP 2009 baru selesai diputar di Jakarta bulan lalu,dan kini sedang roadshow ke beberapa kota besar di Indonesia hingga 10 Mei 2009. Tingginya antusiasme dan apresiasi terhadap film-film alternatif ini membuat penyelenggara festival berpikir untuk menyasar segmen yang lebih spesifik. Ada HelloFest Motion Picture Arts Festival yang memutar film-film animasi/film pendek karya sineas lokal yang sudah lima kali digelar.

Begitu antusias tanggapan yang didapat, penyelenggara terus memberikan perbaikan.Tak sekadar memutar film, juga disertai penjualan merchandise, costume roleplay (Cosplay),hingga HelloFest Awards. Lalu, ada Q Film Festival (QFF), yang secara khusus memutar film bertema lesbian,gay,biseksual,dan transgender (LGBT), HIV/AIDS, serta HAM. QFF muncul perdana pada 2002 atas prakarsa beberapa jurnalis lepas.

Kemasan acaranya mulai pemutaran film, diskusi, acara literatur,tanya jawab dengan pekerja film, pameran foto dan visual art,hingga workshop. QFF yang sudah diselenggarakan sebanyak tujuh kali ini mendapat respons positif dari masyarakat. ”Tahun pertama hanya 750 orang. Pada 2008 kemarin sudah mencapai 9.000 orang. Ini baru di Jakarta saja,” kata Festival Director John Badalu, dalam e-mail-nya kepada Seputar Indonesia yang dikirim dari Bangkok,Thailand.


Setiap tahun,QFF terus melebarkan sayap.Tak hanya di Jakarta, juga keliling kota-kota besar seperti Bandung,Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. QFF berafiliasi pula dengan Berlin Film Festival, juga melakukan pertukaran program dengan Hamburg Lesbian and Gay Film Festival, Mix Brasil Film Festival, serta Out in Africa Film Festival. Untuk berpromo,John giat berkeliling ke berbagai perusahaan film atau bertemu banyak sutradara luar negeri, seperti yang dilakukannya di Bangkok.

Tak heran, meski baru berusia tujuh tahun, QFF menjadi festival film LGBT terbesar di Asia jika dihitung dari jumlah film yang diputar serta pemutaran tiap harinya. OK.Video belum sebesar QFF, tapi peminat festival arahan Ruangrupa untuk memutar film pendek dalam format video itu terus mengekskalasi. Pada 2003, jumlah karya video yang masuk hanya 150 buah. Sementara pada tahun 2007 membengkak menjadi 350 karya. Jumlah ini berbanding lurus dengan pengunjung festival dari 1.300 orang (2003) menjadi 5.000 pengunjung pada 2007.

Layaknya festival berstandar internasional, OK.Videojuga menggelar acara pendukung seperti lokakarya, diskusi,artist talk,dan pameran. Yang terakhir dan yang baru saja lahir adalah V Film Festival (VFF), festival film perempuan internasional pertama ini diselenggarakan untuk pertama kali pada 21-26 April lalu di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta. Kolaborasi Komunitas Salihara, Kalyana Shira Foundation,Kartini Asia Network dan Yayasan Jurnal Perempuan ini memutar 25 film dari dalam dan luar negeri, berikut acara diskusi dan workshop.

Soal respons pengunjung? ”Memang masih di luar harapan. Dengan kapasitas sebesar 216 kursi, tiap film hanya ditonton 16 sampai 40 orang. Paling banyak mungkin 85 orang,” kata Festival Director Ening Nurjanah.


Membuka Wawasan

Apa sebenarnya tujuan penyelenggara membuat festival film alternatif? John Badalu, pendiri Q Film Festival berharap ada apresiasi dari masyarakat tentang isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

”Festival ini diharapkan bisa jadi ajang membuka dialog untuk berdiskusi tentang isu-isu seputar LGBT dan HIV/AIDS,”kata John. Senada dengan John, Director Festival V Film Festival Ening Nurjanah melihat film bisa jadi media efektif untuk mendidik dan membuka wawasan penonton tentang isu-isu sensitif yang terabaikan. ”Membahas isu perempuan lewat seminar dan film tentu berbeda. Secara visual, film lebih melekat di otak.

Selain terhibur, kita juga teredukasi dan mendapat pemikiran baru.Penonton pun bisa lebih wise dalam melihat isu tertentu,”tandas Ening. Ening dan para penggagas festival lainnya sepakat untuk memulai ”kampanyenya”ini pada remaja. Water Lilies, pembuka VFF, adalah film Prancis yang bercerita tentang gadis 15 tahun yang jatuh cinta dan mengalami proses pendewasaan diri. Setelah pemutaran film, ada diskusi bertema Youth and Sexuality.

”Kita ingin melalui film ini remaja perempuan punya kekuatan untuk menentukan hidupnya sendiri,” kata Ening. Dari harapan besar tersebut, John dan Ening tampaknya sudah bisa sedikit melihat hasilnya.John yang menginginkan QFF bisa jadi media advokasi nonkonfrontatif dapat membuat jaringan di antara sesama organisasi yang bergerak di bidang LGBT dan HIV/AIDS untuk membantu menyebarluaskan sikap saling pengertian dan toleransi terhadap kaum LGBT.

Hasil lain yang telah dicapai adalah saat dua rekannya terpilih menjadi juri di Berlin Film Festival. ”Di VFF, Sutradara Nia Dinata sudah bilang kepada para peserta workshop, kalau ada yang mau membuat film tentang perempuan, dia siap membantu untuk peralatan syuting dan pembimbingan,” ujar Ening.

Tampaknya, perubahan baru saja dimulai!!

Tulisan ini pernah di muat sebagai Artikel di harian Seputar Indonesia.
Episode selengkapnya... Read more...